Putera seorang ulama sekaligus pendakwah dari Ray-Iran, memiliki 300 orang murid yang mengikutinya ke mana pun dan semuanya menjadi ulama, menulis karya-karya agung dalam semua disiplin ilmu yang ada di masanya hingga mencapai 200an, bahkan ada satu karyanya bisa berharga 500-1000 dinar di pasar, mempunyai 50 pembantu yang siap melayaninya; simbol kejayaan mazhab Asy’ari dalam ilmu kalam. Dia lah Imam Fakhruddin Ar-Razi,yang bergelar “al-Imam” dengan kesepakatan semua ulama Asya’irah.

Proses Belajar Imam Ar-Razi dan Ilmu Kegemarannya

Semua kemegahan dan reputasi berprestij ini tak diperoleh dengan mudah hanya menyandarkan diri pada populariti ayahnya. Ar-Razi yang memiliki nama lengkap Muhammad bin Diya’uddin Umar mencapai populariti semacam itu kerana kecintaannya pada ilmu dan keteguhannya dalam pencarian ilmu yang tenggelam “saya merasa sangat berat hati bila waktu makan tiba, sebab kesibukanku dengan ilmu menjadi terganggu olehnya”, demikian pengakuan al-Imam.

Ertinya, Ar-Razi muda benar-benar mencintai dan tenggelam dalam ilmu. Sebelum mengajar ilmu kalam, dia mengaku “saya tak diizinkan mengajar ilmu kalam kecuali setelah berhasil menghafal 12.000 halaman”. Ilmu kalam memang menjadi kegemaran Ar-Razi dan angka yang disebut menegaskan betapa banyak kitab yang telah dihafal dan dikuasainya.

Selain itu ilmu usul fikih juga merupakan ilmu kegemaran Ar-Razi, dia menghafal karya agung Imam Al-Ghazali, Al-Mustashfa, dan seorang tokoh Muktazilah Abu Al-Husein Al-Basri berjudul Al-Mu’tamad. Dua dari empat kitab inti dalam usul fikih yang wajib dipelajari setiap pengkaji usul fikih, menurut Ibn Khaldun dalam Mukaddimahnya.

Imam Ar-Razi dan Kaum Sufi

Setelah wafatnya sang ayah, Diya’udin Umar (559 H), Imam Ar-Razi di usianya yang ke 15 memperdalam lagi ilmu hikmah (filsafat) ke Al-Kamal As-Samnani (w. 575 H), kemudian ke Al-Majd Al-Jili (606 H) seorang faqih filsuf sekaligus sufi besar murid dari Abu Najib As-Sahrawardi (w. 563 H) dan Najmudin Kubra (w. 618 H). Dari Majd Al-Jili, Ar-Razi mengambil talqin zikir.

Kemudian Ar-Razi ditakdirkan berjumpa langsung dengan Najmudin Kubra (pendiri tarekat Kubrawiyah). Dalam perjumpaan itu terjadi dialog “apa yang disebut dengan ma’rifat kesufian (intuisi)?” tanya Ar-Razi.

“Anugerah yang menghunjam ke dalam hati dan tak mampu ditolak” jawab Najmudin Kubra.

“Bagaimana cara meraihnya?” lanjut Ar-Razi bertanya.

“Dengan cara meninggalkan semua populariti yang kamu sandang saat ini” jawab Najmudin Kubra singkat.

Ar-Razi menyahut “ini yang saya tidak sanggup”.

Benar, Ar-Razi belum mampu luruh dalam ajaran tasawuf gurunya. Tapi dalam ceramah, surat dan wasiat yang dikirim ke beberapa muridnya menyiratkan kesedaran dan penghayatan sufistiknya yang sangat mendalam. Ceramah-ceramahnya juga sanggup membuat pendengarnya meneteskan air mata.

Ar-Razi dalam Pusaran Ilmu

Imam Ar-Razi adalah seorang ensiklopedis yang menguasai semua ilmu yang berkembang di masanya. Ini dibuktikan dengan cara menulis dalam semua ilmu yang ingin didalaminya, terkadang tidak hanya satu buku tapi beberapa buku, seperti karya dalam ilmu kalam yang mencapai 44 buku.

Ar-Razi bukan sebagai pengkaji yang hanya mengutip pendapat ulama sebelumnya. Dia mengritik, menahqiq, mendebat, menutup celah ulama sebelumnya hingga mencapai originaliti karya yang mencengangkan. Dan kelak menjadi referensi wajib bagi pengkaji setelahnya.

Tafsir Ar-Razi dan Kritik Ibn Taimiyah

Karya terbesarnya tentu adalah tafsir Mafatih Al-Ghaib, yang memuat semua ilmu yang dikuasai oleh penulisnya. Di dalamnya ada ilmu kalam, tasawuf, gramatika dan sastera arab, astronomi, psikologi, fizik, arkitektur, kimia. Kerana di mukaddimahnya Ar-Razi menyadari bahwa Al-Qur’an adalah induk semua ilmu.

Semua ulama, baik yang semasa maupun saat ini, memuji tafsir Mafatih Al-Ghaib kecuali Ibn Taimiyah yang dengan sinis mengejek “dalam tafsir Ar-Razi ada semua kecuali tafsir”. Sebuah pernyataan yang sangat subjektif kerana memang Ibn Taimiyah merupakan simpatisan sekte Karamiyah, yang diserang habis-habisan dalam karya-karya Ar-Razi.

Karamiyah adalah kelompok Mujassimah dan Musyabbihah yang meyakini bahwa Allah menyerupai makhluk punya anggota tubuh layaknya manusia.

Bahkan menurut Dr. Said Faudah, seorang ulama ahli ilmu kalam terdepan abad ini, menegaskan bahwa Ibn Taimiyah sempat mengkafirkan Ar-Razi dalam karyanya, Talbis Al-Jahmiyah. Ibn Taimiyah menuduh Ar-Razi dengan tuduhan keji: telah mengajak pembacanya menyembah selain Allah. Padahal Ibn Taimiyah belum membaca sumber primer buku yang dianggap memuat kesesatan itu, As-Sirr Al-Maktum.

Pola-pola dangkal ala Ibn Taimiyah ini kemudian diikuti oleh para pengagumnya, Wahhabiyah masa kini. Meski sebenarnya Ibn Taimiyah menyerang hampir semua ulama Sunni dan yang bersebarangan dengannya tapi porsi untuk Imam Ar-Razi jauh lebih besar. Ibn Taimiyah lahir 60 tahun selepas wafatnya Imam Ar-Razi 606 H. Jadi, dia sangat terperanjat dengan prestasi Ar-Razi dan reputasinya di kalangan ulama.

Dari sini, boleh dikatakan bahawa Imam Ar-Razi adalah seorang ulama besar yang lengkap dengan para pengritik sekaligus pecintanya. Semakin tinggi pohon maka semakin kencang pula angin menerjang. Ibn Taimiyah dan Al-Khuwansawi (seorang ulama Syiah) adalah musuh terdepan Imam Ar-Razi.

Tak hanya menulis, Ar-Razi juga melakukan perjalanan ilmiah ke negeri-negeri Transaxonia (ma wara’ an-nahr): mulai dari Bukhara (Uzbekistan), Samarkand (Uzbekistan), Khujand (Tajikistan), Banakith, Ghaznah (Afganistan), anak benua India dan sebagainya. Di negeri-negeri itu, dia berdiskusi dan melakukan debat terbuka dengan para ulama, pakar ilmu kalam, filsuf dan para faqih. Semua didokumentasikan dalam karyanya, Munazarat Ma Wara’ An-Nahr. Dia sebenarnya juga ingin menuju ke Baghdad, ibu kota Abbasiyah, tapi tidak ditakdirkan.

Dalam Munazarat, terkadang dia menyebut lawan diskusinya dengan “jahil” (bodoh) hingga sempat dipaksa meminta maaf. Dan itu dilakukan oleh Imam Ar-Razi. Semua kisah ini menggambarkan sosok Imam Ar-Razi yang ambisius namun juga rendah hati. Dengan perjalanan hidup semacam itu maka tak usah hairan jika Imam Ar-Razi memiliki ramai penggemar sekaligus ramai sekali musuh. Konon semua santri Ar-Razi yang berjumlah 300 orang itu selalu menemani gurunya ke mana pun.

Karya-karya Ar-Razi

Imam Ar-Razi tak pernah menuliskan biografinya sendiri. Murid-muridnya juga tak ada yang menulis biografi gurunya. Sang imam lebih didominasi oleh pemikiran dan idea-idea genius dalam karya-karyanya. Sehingga siapapun yang ingin mendekati Ar-Razi dan ingin memotret dirinya secara peribadi akan menemukan kesulitan.

Saat disebut nama Ar-Razi, maka yang terbayang adalah tafsir Mafatih Al-Ghaib yang 11 jilid, Mabahist Masyriqiyah yang 2 jilid, Al-Mathalib Al-Aliyah yang 5 jilid, Al-Mahshul yang 6 jilid, dst: dan semua karya Ar-Razi didominasi oleh ilmu ma’qulat (ilmu rasional islam) sehingga pembacanya harus mengernyitkan dahi memeras otak. Ya, benar. Seakan Ar-Razi berkata pada kita, “tak usah kenalan dengan saya. Baca karya-karya saya!”.

Kekuatan tulisan Ar-Razi terdapat pada bangunan hujjahnya. Dia boleh menghadirkan puluhan argumentasi rasional hanya untuk meruntuhkan satu tema musuh. Banyak profesor ilmu kalam di Al-Azhar yang menyatakan bahwa “setelah filsafat dibabat oleh Al-Ghazali di timur Islam melalui kitab Tahafut Al-Falasifahnya, filsafat tidak mati namun mengalir dalam darah dan nadi ilmu kalam, terutama dalam karya-karya Ar-Razi”.

Muhammad bin Ibrahim bin Said Al-Ansari (749 H) mencatat dalam Irsyad Al-Qasid Ila Asna Al-Maqasid bahawa karya Ar-Razi mencapai 400 buah dalam 60 disiplin ilmu, Tasy Kubra Zadah membengkakkan lagi, Ali Sami An-Nassyar dalam mukadimah tahqiq I’tiqad Firaq Al-Muslimin wa Al-Musyrikin hanya mencatat 96 karya. Sementara Thaha Jabir Al-Ulwani mencatat karya Ar-Razi mencapai 240 lebih.

Karya-karya tersebut meliputi: tafsir, ilmu kalam, filsafat dan hikmah, gramatika dan sastera Arab, fikih dan usul fikih, kedoktoran dan psikologi, tasawuf, sejarah, arkitektur, astronomi, perbintangan, jimat dan ilmu lain yang belum dikategorisasi.

  • Credit : Abdul Mun’im Cholil