MODEL ISTIDLAL SALAF DALAM AKIDAH

Manhaj salaf dalam menegakkan argumentasi [istidlal] akidah Islam atau akidah Ahlussunah wal Jama’ah terbagi menjadi dua:

Pertama, mencukupkan diri dengan dalil al-Qur’an, as-Sunnah, dan ijma’. Mereka menjauh dari hujjah-hujjah kalamiyah atau hujjah rasionalitas [akal].

Kedua, menggunakan dalil-dalil logika atau hujjah-hujjah ilmu kalam. Dan pada dasarnya, al-Qur’an dan as-Sunnah telah mengajarkan kepada kita cara berhujjah dengan dalil-dalil logika atau rasionalitas.

Kubu pertama dipelopori oleh Imam Ahmad dan imam-imam Ahlussunnah lain dari kalangan ahli hadits. Dan kubu kedua dipelopori oleh Imam Haris al-Muhasibi, Imam Ibn Kullab, Imam al-Qalanisi, Imam al-Karabisi dan lain-lain. Mereka semua adalah imam-imam Ahlussunnah dari generasi salaf.

Yang harus digaris bawahi, bahwa yang berbeda dari mereka hanya dalam methode istidlal saja. Adapun dalam mashdar talaqqi [sumber akidah yang mereka terima] tetaplah sama, tidak ada perbedaan, yaitu bersumber dari syariat. Kalaupun ada sedikit perbedaan, maka itu hanya dalam furu’ akidah yang ijtihad masih ditolerir disana, bukan dalam usul akidah.

Karena itu, perselisihan yang pernah terjadi antara mereka hakikatnya bukan dalam usul akidah Ahlussunah wal Jama’ah, tetapi dalam methode istidlal dan sedikit masalah furu’ akidah. Sedangkan persamaannya tentu jauh lebih besar. Sayangnya banyak sekali orang yang gagal faham sehingga lisannya ringan sekali mencibir dan memaki ulama’ atau mengeluarkan ulama’ dari Ahlussunnah wal Jama’ah. Mereka tidak sadar bahwa mengeluarkan seorang dari Ahlussunnah itu berat dan perlu hujjah kuat.

Menurut Imam asy-Syahrastani, saat ahli hadits dihadapkan syubhat-syubhat Mu’tazilah [ahli kalam] yang sangat mengagungkan akal dan dalil logika [rasionalitas], mereka tampak bingung merumuskan methode yang tepat dan jitu dalam menjawab syubhat-syubhat tersebut [selesai]. Dan dalam kondisi seperti ini, ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah dari kalangan ahli nazhar [ahli kalam] tampil gagah untuk menjawab tantangan mereka. Tentu saja hujjah dengan dalil-dalil rasionalitas harus dihadapi dengan cara yang sama. Selain juga, dalil-dalil rasionalitas diperlukan juga untuk menunjukkan kepada aliran atheis bahwa akidah Islam atau Ahlussunah wal Jama’ah bukan akidah yang tidak masuk akal, tapi justru sebaliknya. Dan itulah fungsi hujjah-hujjah ilmu kalam. Karenanya, ilmu kalam senantiasa tetap hidup hingga sekarang, apalagi untuk menghadapi syubhat-syubhat baru dari kelompok liberal, filsuf, atheis, dan yang semacamnya.

Memang harus diakui istidlal dengan al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ sebagaimana yang digunakan oleh ulama’ ahli hadits diatas cenderung lebih mudah, jelas dan praktis jika dibandingkan dengan ilmu kalam yang jlimet dan rumit. Tetapi tidak selamanya kita harus mengeluarkan argumentasi dengan dalil al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’, sebab musuh-musuh akidah Islam berbeda-beda cara dan model debatnya. Dan ulama’ jauh hari sudah mengingatkan, bahwa ilmu kalam menjadi solusi yang sangat penting tatkala keadaan mendesak dan membutuhkan. Karena itu, masih kata ulama’, ilmu kalam hanya khusus bagi kalangan tertentu [ulama’ dan pemerhati akidah], bukan untuk kalangan umum kaum muslimin.