Imam Junaid Al-Baghdadi(215-297H).
.
Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad bin al-Junaid al-Khazzaz al-Qawariri dilahirkan dan tumbuh di Baghdad, namun sebagian besar teman-temannya di Baghdad tahu bahwa dia memiliki nenek moyang yang berasal dari kota Nihawand, Provinsi Jibal, Persia.14 Niwahand sendiri kerap dianggap sebagai kota paling tua di Provinsi Jibal dan telah ada sejak sebelum terjadi banjir besar. Kota ini jatuh ke tangan bangsa Arab kira-kira tahun 17 – 21 Hijriyah (638/641 Masehi) pada masa kekuasaan Khalifah Umar bin Khattab. Saat berupaya merebut kota ini, bangsaArab menghadapi kota yang memiliki benteng yang kuat dan dikenal memiliki banyak kekayaan. Alhasil, penaklukan kota itu sendiri harus ditebus dengan banyak korban dan gugurnya panglima pasukan bangsa Arab, Nu’aim bin Mukarram al-Muzani. Namun dengan menaklukkan kota ini, bangsa Arab mendapatkan lebih banyak keuntungan karena Nihawand adalah pintu masuk ke kawasan yang lebih dalam dan kawasan-kawasan lain di luar Persia.
.
Dalam lembaran-lembaran sejarah Arab, nama kota ini dipasangkan dengan kepahlawanan dan harta rampasan perang yang sangat banyak. Para penulis Persia menyatakan bahwa Nihawand merupakan salah satu tempat paling indah dan paling dingin di Persia.15 Kota ini berutang kekayaan kepada tanah subur yang berada di distrik-distrik sekelilingnya, yang menghasilkan sayur-mayur dan buah-buahan yang melimpah ruah. Para penduduk kota ini merupakan pedagang-pedagang lihai yang mampu mengirim banyak barang dagangan ke Mesopotamia. Menurut Istakhri: “Nihawand terletak di sebuah gunung dengan rumah-rumah yang dibuat dari tanah liat. Di tempat ini terdapat taman taman yang indah dan buah-buahan yang, berkat mutu dan keberlimpahannya, bisa dijual ke Mesopotamia.” Ibnu Hauqal juga menyebut Nihawand sebagai kota penting yang memiliki banyak pedagang dan tanah pertanian yang subur.
.
Jika dilihat dari sisi mana pun, kita tidak akan mengira jika nenek moyang al-Junaid ialah warga Nihawand, berasal dari kawasan pegunungan yang keras dan, seperti lazimnya di Timur, selama beberapa generasi terlibat dalam perdagangan dengan Mesopotamia. Kemungkinan mereka justru menjalin hubungan dagang dengan Baghdad yang kemudian mendorong mereka berhijrah ke kota tersebut, namun kita tidak bisa mengetahui dengan pasti kapan mereka mulai bermukim di kota metropolis ini. Meski demikian, pekerjaan para anggota keluarga al-Junaid dapat kitaketahui dari nama-nama mereka. Ayah al-Junaid dijuluki Qawariri, yang dengan kata lain dia adalah pedagangkaca; al Junaid sendiri dikenal dengan julukan Khazzaz yang berarti pedagang sutra kasar; sementara pamannya, Sari, dijuluki as-Saqati yang berarti pedagang rempah-rempah dan bumbu. Al-Junaid, seperti yang bisa kita lihat, dibesarkan dalam lingkungan keluarga pedagang. Selain kabar yang mengatakan bahwa ayahnya wafat sewaktu al-Junaid masih remaja, hanya sedikit yang dapat diketahui mengenai masa kecil al-Junaid. Selepas ayahnya wafat, seorang paman dari garis ibu, as-Saqati, membawa si anak yatim ini ke rumahnya dan kemudian mengasuhnya.
.
Walaupun tahun kelahiran al-Junaid tidak tercatat, namun dia disebut-sebut wafat pada tahun 296, 297 atau 298 Hijriyah (908, 909, 910 Masehi). Agaknya, tahun terakhir inilah yang paling absah.18 Sebagaimana yang akan kita lihat nanti, dengan pekerjaannya sebagai pedagang, pada masa mudanya dia belajar fikih dan hadis kepada Ibnu Tsaur yang wafat pada 240 Hijriyah. Menurut beberapa sumber, saat belajar kepada Ibnu Tsaur, al-Junaid berusia dua puluh tahun. Sebab proses belajar ini memerlukan waktu tiga hingga lima tahun, maka bisa dipastikan bahwa tahun kelahiran al-Junaid yang paling mendekati kebenaran ialah 215 Hijriyah. Setelah menyelesaikan pelajarannya, dia kemudian beralih ke tasawuf di bawah bimbingan al-Harits al-Muhasibi.
.
Dilihat dari pengalaman mendalam yang dicapai al-Junaid terhadap ajaran al-Muhasibi, penghormatan yang diberikan kepada gurunya ini, serta sulitnya pelajaran yang diberikan, rasanya tidak berlebihan jika diperkirakan bahwa al-Junaid telah berusia tiga puluh tahun pada saat pertama mengunjungi al-Muhasibi dan lantas belajar kepadanya selama kurang lebih sepuluh tahun. Dilihat dari sisi mana pun, saya cenderung memilih pendapat yang menyatakan bahwa al-Junaid lahir sekitar tahun 210 Hijriyah, sehingga pada saat wafat dia berusia sekitar sembilan puluh tahun.Sambil lalu, tampaknya perlu dicatat bahwa dari garis ibu nya dia merupakan keturunan dari sebuah keluarga yang berumur panjang karena bapa saudaranya, as-Saqati, meninggal pada usia sembilan puluhan.
.
Pendidikan dan guru-gurunya:
.
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, al-Junaid mula-mula belajar fikih dan hadis (tradisi dari dan tentang Nabi Muhammad) di bawah bimbingan bapa saudara. Al Junaid menuturkan bahwa suatu hari ketika dia hendak pergi meninggalkan bapa saudara, Sari as-Saqati, dia ditanya ke majelis siapa dia akan pergi belajar, al-Junaid menjawab: “Kemajelis al-Harits al-Muhasibi.” Mendengar ini bapa saudaranya berkata: “Bagus. Pergilah. Pelajarilah ajaran-ajaran dan disiplinnya, namun hati-hatilah pada nalar spekulatif beserta kecenderungan dia terhadap Muktazilah.” “Kemudian aku pun pergi,” imbuh al-Junaid, “kudengar bapa saudara Sari berkata,‘Semoga Allah menjadikannya ahli hadis yang sufi, bukan sufi yang ahli hadis’.”
.
Al-Makki lantas menjelaskan bahwa pengetahuan tentang Hadis dan Sunnah dikuasai al-Junaid terlebih dahulu, kemudian, dengan mengamalkan asketisme dan tekun beribadah, barulah al-Junaid beroleh pengetahuan tentang tasawuf dan menjadi sufi andal. Proses yang sebaliknya, berusaha meraih derajat kesufian yang tinggi tanpa memiliki dasar-dasar ortodoksi yang baik, akan sangat berbahaya.
.
Mengenai persoalan ini kita bisa mendapatkan uraian mengenai soal itu dalam kata-kata al Junaid: “Aku mempelajari hukum Islam di madrasah yang punya dalam bidang hadis semisal madrasah Abu Ubaid dan Abu Tsaur, dan aku punya sanad dari al-Harits al-Muhasibi dan Sari bin Mughallas. Inilah yang membuat aku berhasil, sebab seluruh pengetahuan kita harus merujuk kepada Alquran dan Sunnah. Siapa pun yang tidak mempelajari Alquran dengan hatinya dan tidak belajar hadis secara resmi, serta tidak mempelajari hukum Islam terlebih dahulu sebelum menenggelamkan diri dalam tasawuf, maka dia tidak berhak menjadi pemimpin.”

Jalan kesufian:

Al-Junayd dikenali pemikirannya beraliran salaf. la tidak bersikap radikal dalam menghadapi setiap persoalan. la lebih menumpukan perhatian pada ajaran tasawufnya yang bersandarkan pada Al Quran dan Hadis Hal itu dapat dilihat pada pemikirannya yang disesuaikan dengan firman Allah:
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah engkau lupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah engkau berbuat kerosakan di bumi Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerosakan. “(Surah AI-Qashash: 77).
.
Dimana, ajaran tasawuf al-Junaid ini sama dengan ajaran tasawuf Al-Muhasibi yang memberi tekanan besar pada disiplin diri atau lebih spesifik pada disiplin kalbu. Ia menjelaskan antara orientasi ukhrawi dan moral. Dari ajaran tasawuf Al-Junaid al-Baghdadi ini sangat jelas bahawa, orang sufi itu tetap diwajibkan menjalankan syari’at untuk mencapai kehadirat Ilahi Rabbi. Tanpa menjalankan syari’at, seseorang tidak akan sampai kepada Allah SWT.

.
Antara guru-gurunya:

  1. Syekh as-Sari as-Saqti
  2. Al Harit Al muhasibi
  3. Tsaur Ibrahim bin Khalid al-Kalbi al-Baghdadi,
    .
    Wafat:

Junaid al-Bagdadi wafat pada tahun 297 H.

Sumber:📚

  1. Imam Al-Junaid Al-Baghdadi Pemimpin Kaum Sufi – Dr. Ali Hassan Abdel-Kader
  2. Tadzkiratul Auliya’ – Fariduddin Attar
  3. Al-Khatib, Tarikh Baghdad, jilid 7, 242.
  4. Lihat Al-Khatib, Tarikh Baghdad, jilid 7, hal. 248. Ibnu al-Jauzi, Muntazam, jilid 6, hal. 105. Ibnu Khallikan, jilid 1, hal. 147.
  5. Al-Makki, Qut al-Qulub, jilid 2, hal. 35. Bandingkan dengan as-Sulami, Tabaqat, fol. 112. As-Subki, Tabaqat, jilid 2, hal. 36.

Kredit : Ridhuan Abu Bakar