Secara umum diketahui bahwa hadits dhaif [yang dhaif ringan] tidak boleh dibuat dalil atau hujjah dalam urusan akidah atau hukum halal dan haram. Adapun dalam hal fadhilah amal, targhib wa tarhib, kisah, dan riqoq [tentang akhlak hati, melembutkan hati, khusyu’, mahabbah kepada Allah dan lain-lain] majoriti ulama’ salaf memperbolehkannya dengan syarat-syarat yang maklum tercatat dalam kitab-kitab mustholah hadits.

Khusus dalam tafsir [tafsir bir-riwayat atau tafsir ma’tsur] atau menafsiri ayat dengan hadits dhaif apakah khilaf mereka antara jumhur dan bukan jumhur sebagaimana dalam masalah fadhilah amal dan lain-lain saya tidak tahu. Yang pasti, ulama’ memang masih khilaf tentang ini.

Yang menjadi perdebatan hangat adalah tentang hadits dhaif untuk menetapkan sunat dan makruhnya satu perbuatan. Sebagian ulama’ menolak tetapi sebagian yang lain menerima. Dan bahkan majoriti fuqaha’ menerimanya. Boleh diperiksa dalam kitab-kitab ulama’ yang menjelaskan tentang hukum hadits dhaif.

Yang menggelitik, mengapa dalam kitab-kitab fikih ditemukan hukum halal dan haram dan hujjah yang dipakai adalah hadits dhaif?

Jawabnya, boleh jadi hadits dhaif yang dijadikan dalil tentang halal haram tersebut adalah menetapi syarat-syarat berikut:

  1. Dikuatkan ijma’ ulama’. Atau,
  2. Dikuatkan dengan ayat al-Quran atau makna hadits shahih lain. Atau,
  3. Hadits tersebut diterima oleh ulama’ dalam fatwa atau amal [talaqqil ummah bil qobul].
  4. Tidak ada dalil lain kecuali hanya hadits tersebut. Kerana ulama’ sepakat bahawa hadits dhaif lebih baik daripada qiyas.

Sayangnya dari kitab ulama’ yang shorih menyatakan demikian hanya point nombor 1 hingga 3. Adapun nombor 4 kebetulan saya belum menemukan secara sharih pernyataan ulama’ yang menyebutnya demikian. Namun secara kaedah usul yang disebutkan ulama’, mestinya ketentuannya sama seperti point-point sebelumnya.