Apakah di zaman Salafusshalih ada mazhab-mazhab ??

Imam Asy-Syafi’i berkata dalam kitab Jima’ul-‘Ilmi ketika mendebat orang yang menerima ijmak dan qiyas namun menolak hadits ahad, beliau berhujjah dengan diterima fatwa-fatwa ulama yang sampai derajat ijtihad :

“Maka telah kita ketahui bahwa di antara penduduk Mekkah ada sebagian yang hampir-hampir tidak menyelisihi pendapat ‘Atha (bin Abi Rabah) dan di antara mereka ada yang memilih pendapat (ulama) yang lain daripada pendapatnya (Atha). Lalu ada Az-Zanjiy bin Khalid yang berfatwa dan di antara mereka (penduduk Mekkah) ada yang mendahulukannya dalam fiqh namun sebagian yang lain ada yang lebih condong kepada pendapat Sa’ id bin Salim…

Dan aku pun mengetahui dahulu penduduk Madinah mendahulukan pendapat Sa’id bin Musayyib lalu mereka meninggalkan sebagian pendapatnya dan muncul di zaman kita Mâlik dan banyak di antara mereka (penduduk Madinah) mendahulukannya (dalam fiqh), ada orang yang melampaui batas terhadap Mâlik dan mendho’ifkan mazhabnya dan aku melihat Ibnu Abiz-Zinad melampaui batas dalam mencela mazhabnya…

Dan aku pun melihat di Kufah mereka (penduduk Kufah) condong kepada pendapat Ibnu Abi Laila dan mereka mencela mazhab Abu Yusuf, sebagian yang lain condong kepada pendapat Abu Yusuf dan mencela mazhab Ibnu Abi Laila dan mereka tidak pernah menyelisihi Abu Yusuf sedangkan sebagian yang lain (dari penduduk Kufah) condong kepada pendapat Sufyan Ats-Tsauriy dan sebagian yang lain condong kepada pendapat Al-Hasan bin Shalih.

Aku melihat penduduk Mekkah mendahulukan Atha dalam ilmu dibandingkan Tabi’in yang lainnya sedangkan sebagian penduduk Iraq mendahulukan Ibrahim An-Nakha’iy.”


Imam Sa’id bin Musayyib, Atha bin Abi Rabah dan Ibrahim An-Nakha’iy adalah para imam mujtahid di zaman Tabi’in dan manusia rujuk kepada pendapat mereka dan demikian para ulama lainnya yang disebutkan oleh Imam Asy-Syafi’i itu adalah para imam mujtahid di zaman Tabi’ut-tabi’in dan manusia rujuk kepada mazhab-mazhab mereka, rujuk kepada ijtihad dan mazhab seorang mujtahid adalah hal yang lumrah di zaman Salafusshalih karena kenyataannya adalah kebanyakan manusia tidak sampai derajat ijtihad dan tidak memiliki ilmu-ilmu alat untuk ijtihad.

Itu di zaman Salafusshalih kenyataannya banyak manusia tidak sampai derajat ijtihad dan butuh kepada ijtihad para mujtahid di zaman mereka, yang jadi musibah adalah ketika orang yang tidak memiliki ilmu-ilmu alat ijtihad bahkan Bahasa Arab tidak bisa berlagak bak mujtahid kesiangan ijtihad sendiri tarjih sendiri lha belum belajar qawa’id tarjih,mau tarjih pakai ilmu apa ? Lantas siapa pula yang akan men-tarjih kekeliruan pada pendapatnya sendiri ?! …

Tidak ragu lagi ini merupakan berkata atas nama agama Allah tanpa ilmu dan merupakan dosa besar.

~ Wallohu A’lam ..