Ruh Ibadah Yang Hilang
Allah tidak perlu pada seluruh makhluknya dan tidak perlu pada ibadah mereka. Secara tegas Allah sebutkan di sebuah hadits qudsi, “Wahai para hambaKu, jikalau orang yang pertama hingga terakhir dari kalian, baik manusia atau jinnya menjadi orang yang paling bertakwa diantara kalian maka yang demikian itu tidak menambah kekuasaanKu sedikit-pun” (Riwayat Muslim)
Manfaat ibadah hanya akan kembali pada orang yang menjalankan ibadah tersebut. Oleh kerana itu para ulama mengatakan, “Sesungguhnya bangunan syariat ditegakkan adalah untuk menghasilkan kebaikan bagi para hamba di dunia dan akhirat. “
Tidak ada jalan untuk kebahagiaan manusia kecuali dengan beribadah kepada rabbnya sesuai yang diperintahkan. Ibadah adalah tali kekang yang mengendalikan keliaran jiwa dari tenggelam dalam kubangan nafsu syahwat. Ibadah juga merupakan jalan yang menghalangi manusia dari mendurhakai syariat Allah. Cacat dalam menunaikan ibadah akan membuahkan cacat pula dalam hal-hal yang lain.
Maksud Ibadah yang Terlupa
Maksud terbesar dari ibadah adalah dihasilkannya ketaqwaan. Taqwa adalah benteng yang menghalangi manusia dari perbuatan maksiat. Allah mengatakan, “
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa.” (Al Baqarah: 21)
Bukan Gerakan Tubuh Saja
Ibadah tidaklah sekadar gerakan lahiriah yang dilakukan oleh anggota tubuh tanpa ada bekas pengaruhnya di dalam batin. Namun maksud ibadah lebih dari itu , yaitu amalan hati berupa penyerahan, ketundukan, kerendahan, kekhusyukan di hadapan Allah. Inilah yang disebut sebagai ruh dan otaknya ibadah. Orang yang menunaikan sebuah ibadah namun hatinya tidak menegakkan tingkatan ubudiyah pada Allah maka seolah ia menunaikan ibadah tersebut hanya sekadar kulitnya saja bukan hakikatnya.
Tentang ini Nabi pernah menyebutkan, “Seorang menyelesaikan shalatnya dan dia mendapatkan bagian dari shalatnya Cuma sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapan, sepertujuhnya, seperenamnya, seper limanya, sepertiganya, setengahnya.” (Shahihul Jami 1622)
kredit : Mohamed Ibrahim Mericar